Endlessly
Dear Leo,
Aku tahu cepat atau lambat kamu akan membaca tulisan ini. Entah kapan, entah dengan siapa kamu saat itu, tapi, aku yakin perasaan aku di sini akan tersampaikan padamu. Kalau pasanganmu (dan pasanganku) membaca ini, aku harap mereka paham yang aku rasakan per 22 Mei 2019 ini belum tentu relevan di waktu mereka membacanya. Aku harap begitu.
Aneh rasanya menjalani waktu kembali tanpa kehadiranmu, tapi, dalam semua cerita terasa eksistensimu.
Aku pikir percakapan terakhir kita yang membuat kita saling 'membenci' bisa menjadi gembok dari kotak Pandora berlabel kisah cinta. Aku pikir excommunicado kita akan memudahkan aku mengesekusi misi dan mimpi yang sudah aku revisi. Aku pikir satu tahun sejak kesepakatan tidak bisa lagi ada kita aku sudah menyebut nama lain dalam doa.
Namun, terbiasa tidak ada kamu ternyata tidak semudah menjalin yang baru.
Mereka yang kenal kamu via ceritaku tanpa pernah berada dalam posisiku menganggap kamu hanya salah satu 'fase' untukku. "Ya sudah, cari pacar baru aja. Nanti juga lupa." Itu inti respons mereka terhadap curahan hatiku hingga akhirnya aku memilih untuk membiarkan mereka sekadar tahu lapisan luar saja. Untuk apa aku meluapkan yang terdalam apabila sejak awal mereka sudah berada dalam mode "salah lo sendiri udah tahu LDR masih aja dilanjutkan main apinya"?
Aku ga butuh orang lain terus-menerus mengingatkan salah langkahku itu. Aku hanya butuh pelukan. Aku hanya butuh validasi dari rasa patah hati ini. Aku ga peduli dari siapa, aku butuh penerimaan. Sayangnya, meskipun padanya ada sedikit kamu, yang baru pun tidak mampu memenuhi kebutuhanku.
Terlalu tinggi bar yang kamu tetapkan. Terlalu idealis, kata mereka. Mereka lupa, kamu bukti nyata ada pria yang pernah berada di batas itu. Aku tahu di luar sana, kalau aku mau membuka hati sedikit lagi, ada kamu-kamu yang lain, bahkan lebih baik. Kalau.
Kalau. Bagaimana jika. What if. Ah... Aku baru tahu pengandaian bisa semenyakitkan ini! Bagaimana jika tentangmu yang aku ingat adalah awal kita bertemu. Bagaimana jika aku dekat denganmu lebih dari kedekatan profesional? Dari situ aku semakin memahami diriku. Aku sadar aku menyukai tantangan, tapi, kala itu aku tambah menyadari bahwa tindakan impulsif yang berhubungan dengan perasaan perlu lebih banyak kali lipat dipikir dibanding urusan lain. Berawal dari what if yang aku pikir harmless itu, aku terjebak dalam ke-bagaimana jika-an lain yang menahanku untuk bergerak ke depan.
Mungkin kamu akan menganggap aku jahat dengan menyatakan hal ini, tapi, kamu adalah beban masa lalu. Penyesalan bertubi-tubi datang ketika kamu menyusup di pikiran. Bukan, bukan penyesalan kita pernah ada. Kamu harus tahu kalau aku bisa mengulang waktu, aku akan tetap memilih kamu.
Selama setahun lebih kita bersama yang membuatku menyesakan adalah aku kurang menunjukkan perasaanku dengan jelas. Keraguan mengambil alih hampir setiap sikapku ke kamu dan ternyata itu membuatmu, mengutip ucapan yang kamu lontarkan padaku, "lebih banyak stresnya dibanding bahagianya sama kamu". Dari banyaknya kalimat menyakitkan yang pernah kamu katakan, tujuh kata itu adalah ultimate strike. Sesakithatinya aku mendengar "bullshit!" sebagai tanggapan dari pernyataan cintaku tidak bisa menggantikan pahitnya mengetahui adanya aku ternyata menyakiti kamu. Aku merasa gagal menjadi pasanganmu. Momen itu adalah patah hati terbesarku.
Leo, aku takut. Aku takut aku mati rasa. Aku takut dengan sengaja menutup peluang jatuh cinta. Aku takut tidak ada yang layak menjadi 'rumah' tempat aku pulang. Aku takut kamu akan menjadi selalu-ku.
Menurutmu, aku harus bagaimana? Perlukah aku kembali mengambil risiko dan membiarkan serpihan hati begitu saja hingga menemukan pasangan yang dapat membantuku? Atau lebih baik aku menyusun puzzle itu terlebih dahulu sebelum mencari yang baru?
Lalu, bagaimana denganmu? Bagaimana hidupmu tanpa aku? Aku bercanda, Leo. Aku tahu kisahmu pasca aku. Kamu adalah satu-satunya manusia yang rutin aku cari tahu, meski aku berpura-pura tidak tahu ketika ada yang bertanya tentangmu. Menyedihkan, ya?
Selama ini aku menyepelekan patah hati. Saat ini, aku sungguh paham yang Chris Martin nyanyikan: nobody said it was easy. No one ever said it would be this hard. Berpisah dari kamu menyakitkan untukku. Sangat. Namun, yang lebih menyakitkan adalah perasaan tidak berdaya untuk mengatakan kalimat yang aku sesali tidak aku ucapkan lebih sering saat bersamamu:
Aku cinta kamu.
Penuh cinta,
M
Komentar
Posting Komentar
Silakan kirim komentar kamu tentang post ini ya...